Berharap apa sih ke orang lain???
“All that glitters is not gold” — Shakespeare
Saya dibesarkan di lingkungan yang sangat mengutamakan pencapaian dari segi ekonomi, pendidikan, karir, rupa fisik, punya mobil berapa, udah nikah belum, punya rumah belum, kebun nya udah berapa hektar, dan saudara-saudaranya. Awalnya, Saya mengikuti trend tersebut karena pada saat itu memang semua hal tadi yang “rasanya pas” buat dijadikan tujuan hidup. Saya berupaya keras untuk mencapai tujuan tadi. Sangat keras, terlampau keras. Hingga akhirnya beberapa hal tadi bisa dicapai (tidak semua ya).
Tapi…
Rasanya kok sama, ngga beda. Ya seneng, sih. Cuma ya sebatas seminggu dua minggu udah merasa biasa saja. Saya baru menyadari hal tersebut beberapa waktu terakhir. Sepertinya, ada sesuatu yang keliru. Saya mulai cari tahu apakah kekeliruan tersebut.
Singkat cerita, dari bertanya ke teman-teman, nonton video di youtube, baca-baca tulisan di internet, sepertinya Saya sudah dapat jawabannya.
- Ultimate Goal
Semua tujuan yang tadi, seperti pendidikan, karir, punya istri atau belum, sejatinya merupakan tujuan yang baik. Cuma, itu seharusnya bukan dijadikan tujuan terakhir. Seharusnya, semua hal yang mau dicapai tadi dijadikan sebagai alat untuk menebar kebaikan secara terus menerus. - Berharap Pujian dari Orang Lain
Capaian apapun itu, menurut Saya akan lebih baik bila standard kepuasan-nya berasal dari dalam diri sendiri. Membandingkan diri dengan capaian orang lain itu tidak akan ada habisnya dan seperti mustahil untuk dicapai. Pujian yang muncul dari orang lain karena capaian diri kita juga ngga selalu tulus alias basa-basi saja. Tetapi, ada juga orang yang tulus dan berbuat baik kepada Kita. Agak susah memang menetapkan orang ini tulus atau tidak. Tetapi, dengan semakin seringnya berkomunikasi, seharusnya ketulusan seseorang akan terungkap. - Memenuhi Ekspektasi Orang Lain
Yang terakhir, menurut Saya juga yang paling sulit. Ingat bahwa diri ini merupakan manusia merdeka, manusia yang bebas mau berarah kemana saja asal sanggup menanggung risiko-nya. Berupaya untuk tidak memenuhi ekspektasi orang lain itu cukup sulit buat Saya, apalagi ekspektasi yang berasal dari Ibu dan Bapak. Kebahagiaan orang lain memang tanggung jawab mereka sendiri, sih. Cuma, untuk case Ibu-Bapak, kalau Saya cenderung mendengarkan keinginan mereka dan Saya coba sesuaikan dengan harapan Saya. Nasihat dari mereka memang Saya anggap sebagai arahan dari Tuhan. Dengan mereka memberikan nasihat, artinya mereka ridha dengan apa yang mereka sampaikan, ini pandangan Saya.
In the end, tetaplah berproses walaupun itu sulit. Selalu tempatkan diri di lingkungan yang supportif. Selalu berdoa kepada Tuhan agar ditempatkan di tempat yang baik, dijauhkan dari orang jahat, diberikan kesehatan, dimampukan untuk berpikir secara jernih. Lakukan apa yang baik buat diri sendiri. Perkataan orang lain cukup dijadikan salah satu pertimbangan saja.
Tambahan, sepertinya juga keliru ketika mensyaratkan suatu keadaan sebagai pemantik untuk menjadi bahagia. Cobalah untuk tidak selalu menuntut dan selalu bersyukur atas apapun yang diperoleh. Ini juga susah untuk diterapkan. Tetapi selama Kita bisa selalu sadar dan menguasai diri sendiri, ini bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai.